Senin, 10 Januari 2011

Pengelolaan Sektor Informal Kota (PKL)????


Pada aspek sosial-ekonomi masyarakat kota tercipta kegiatan yang bersifat formal dan informal (Sujarto dalam Widjayanti: 2000). Sektor formal diwadahi dalam ruang formal sesuai dengan yang telah diatur dalam RDTRK, sedangkan sektor informal belum terakomodasi dalam wadah serta aturan kebijakan pengelolaan yang rinci. Sektor informal merupakan suatu fenomena umum yang tak dapat terhindarkan di wilayah perkotaan. Pengertian sektor informal menurut Kamus Tata Ruang (1997: 97) adalah usaha pelayanan tidak resmi yang dilakukan perorangan dengan tujuan untuk memperoleh imbalan terhadap jasa atau bantuan pelayanan yang diberikannya. Keberadaan sektor ini disebabkan oleh ketidakmampuan sektor formal dalam menyerap tenaga kerja yang semakin hari semakin bertambah atau sebagai akibat dari arus urbanisasi. Salah satu sektor informal dalam bidang perdagangan dan jasa yang sering dijumpai di kota adalah Pedagang Kaki Lima (PKL) yang senantiasa tumbuh subur memilih lokasi untuk berdagang dengan memanfaatkan lahan kota yang potensial. Hal tersebut dikarenakan belum terdapatnya aturan tentang wadah yang dapat menampung aktivitas PKL dalam suatu ruang informal di Rencana Tata Ruang Kota (RTRK). Dalam beraktivitas PKL tersebut memanfaatkan trotoar, badan jalan serta depan pertokoan tanpa memperhatikan ruang aktivitas yang terjadi di sekitarnya, sehingga mengakibatkan berbagai macam permasalahan. Berikut ini dapat dilihat dampak positif dan negatif dari adanya PKL :

Dampak Positif :
  • PKL menjadi katup pengaman bagi masyarakat perekonomian lemah baik sebagai profesi maupun bagi konsumen untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, terutama akibat krisis ekonomi.
  • PKL menyediakan kebutuhan barang dan jasa yang relatif murah bagi masyarakat yang berpenghasilan menengah ke bawah.
  • Jumlah yang besar, ragam bentuk usaha dan keunikan merupakan potensi yang besar untuk menghias wajah kota, apabila ditata dan diatur dengan baik.
  • PKL dapat memberikan rasa aman yang menjadi barrier untuk keamanan aktivitas pedagang formal karena kontiunitas kegiatannya hampir 24 jam.
  • PKL tidak dapat dipisahkan dari unsur budaya dan eksistensinya tidak dapat dihapuskan.
  • PKL menyimpan potensi pariwisata yang cukup besar.
Dampak Negatif :
  • Media dagang yang tidak estetis dan tidak tertata dengan baik menimbulkan kesan semrawut dan kumuh, akibatnya menurunnya kualitas visual kota.
  • Lokasi berdagang sebagian PKL yang memakai badan jalan yang tidak semestinya menimbulkan kemacetan lalu lintas.
  • Lokasi berdagang yang menggunakan pedestrian, trotoar dan taman menyita hak para pejalan kaki.
  • Menggeser fungsi ruang publik.
  • Keberadaan PKL yang tidak terkendali mengakibatkan pejalan kaki berdesak-desakan, sehingga dapat timbul tindak kriminal (pencopetan).
  • Mengganggu kegiatan ekonomi pedagang formal karena lokasinya yang cenderung memotong jalur pengunjung seperti pinggir jalan dan depan took.

Berdasarkan dampak yang ditimbulkannya tersebut, Dampak positif terlihat dari segi sosial dan ekonomi karena keberadaan PKL menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi kota karena sektor informal memiliki karakteristik efisien dan ekonomis. Hal tersebut, menurut Sethurahman selaku koordinator penelitian sektor informal yang dilakukan ILO di delapan negara berkembang, karena kemampuan menciptakan surplus bagi investasi dan dapat membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal ini dikarenakan usaha-usaha sektor informal bersifat subsisten dan modal yang digunakan kebanyakan berasal dari usaha sendiri. Modal ini sama sekali tidak menghabiskan sumber daya ekonomi yang besar.
Adapun dampak negatif yang ditimbulkan oleh PKL tersebut dilihat dari aspek spasial. Pertumbuhan PKL berimplikasi terhadap permasalahan ruang yang harus disediakan oleh kota, karena biasanya PKL menempati lokasi-lokasi yang sudah memiliki fungsi lain dengan kegiatan yang cukup tinggi yaitu area-area strategis perkotaan seperti pusat kota, trotoar sepanjang jalan, dan ruang publik yang ramai dilewati orang menjadi tempat pilihan PKL untuk mengembangkan usahanya sehingga pada akhirnya terjadilah penurunan kualitas ruang kota. Penurunan kualitas ruang kota ditunjukan oleh semakin tidak terkendalinya perkembangan PKL sehingga seolah-olah semua lahan kosong yang strategis maupun tempat-tempat yang strategis merupakan hak para PKL. PKL mengambil ruang dimana-mana, tidak hanya ruang kosong atau terabaikan (vacant land) tetapi juga pada ruang yang jelas peruntukkannya secara formal (functional land). Okupasi secara illegal dilakukan hampir di seluruh jalur pedestrian, ruang terbuka, jalur hijau dan ruang kota lainnya. Alasannya karena aksesibilitasnya yang tinggi sehingga berpotensi besar untuk mendatangkan konsumen juga adanya faktor aglomerasi (pengelompokkan) pedagang sejenis dengan sifat dan komoditas sama untuk lebih menarik minat pembeli. Akibatnya adalah kaidah-kaidah penataan ruang menjadi mati oleh pelanggaran-pelanggaran yang terjadi akibat keberadaan PKL tersebut.
Berdasarkan dampak yang ditimbulkannya tersebut, sebenarnya dapat dikatakan bahwa eksistensi PKL perlu dipertahankan, hanya saja perlu diupayakan meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkannya sehingga pengelolaan PKL harus direncanakan dengan baik. Oleh karena itu, langkah yang dapat dilakukan adalah menertibkan PKL sehingga fungsinya dalam aspek ekonomi dapat berjalan namun tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas ruang perkotaan.
Pengelolaan PKL yang diilakukan pemerintah saat ini:    
Implementasi kebijakan pemerintah yaitu dilakukan dengan pemikiran yang rasional dan proporsional. Logikanya pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan dalam hal ini relokasi, relokasi tersebut adalah pemerintah berupaya mencari win-win solution atas permasalahan PKL. Dengan dikeluarkannya kebijakan relokasi, pemerintah dapat mewujudkan tata kota yang indah dan bersih, namun juga dapat memberdayakan keberadaan PKL untuk menopang ekonomi daerah. Pemberdayaan PKL melalui relokasi tersebut ditujukan untuk formalisasi aktor informal, artinya dengan ditempatkannya pedagang kaki lima pada kios-kios yang disediakan maka pedagang kaki lima telah legal menurut hukum. Sehingga dengan adanya legalisasi tersebut pemkot/pemkab dapat menarik restribusi secara dari para pedagang agar masuk kas pemerintah dan tentunya akan semakin menambah Pendapatan Asli Daerah.
Pemerintah Kota mengeluarkan kebijakan yang isinya antara lain :
1.   Pedagang Kaki Lima dipindah lokasikan ke tempat yang telah disediakan berupa kios-kios.
2.  Kios kios tersebut disediakan secara gratis.
3.   Setiap kios setiap bulan ditarik retribusi.
4. Bagi Pedagang yang tidak pindah dalam jangka waktu 90 hari setelah keputusan ini dikeluarkan akan dikenakan sangsi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Dengan demikian, Pemerintah kota menganggap kebijakan relokasi tersebut merupakan tindakan yang terbaik bagi PKL dan memudahkan PKL. Karena dengan adanya kios¬-kios yang disediakan pemerintah, pedagang tidak perlu membongkar muat dagangannya. Selain itu, pemerintah juga berjanji akan memperhatikan aspek promosi, pemasaran, bimbingan pelatihan, dan kemudahan modal usaha. Pemerintah merasa telah melakukan hal yang terbaik dan bijaksana dalam menangani keberadaan PKL. Namun, pasca relokasi tersebut beberapa pedagang kaki lima yang diwadahi dalam suatu paguyuban melakukan berbagai aksi penolakan terhadap rencana relokasi ini. Kebijakan Relokasi ini tidak dipilih karena adanya asumsi bahwa ada kepentingan dalam kebijakan ini yaitu;
Pertama, dalam membuat agenda kebijakannya pemerintah cenderung bertindak sepihak sebagai agen tunggal dalam menyelesaikan persoalan. Hal tersebut dapat dilihat dari tidak diikutsertakan atau dilibatkannya perwakilan pedagang kaki lima ke dalam tim yang ‘menggodok’ konsep relokasi. Tim relokasi yang selama ini dibentuk oleh Pemerintah hanya terdiri dari Sekretaris Daerah, Asisten Pembangunan, Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi, serta Dinas Pengelolaan Pasar.
Kedua, adanya perbedaan persepsi dan logika dalam memandang suatu masalah antara pemerintah dengan pedagang kaki lima tanpa disertai adanya proses komunikasi timbal balik diantara keduanya. Selama ini, pedagang kaki lima menganggap Pemerintah Kota tidak pernah memberikan rasionalisasi dan sosialisasi atas kebijakan relokasi yang dikeluarkan, sehingga pedagang kaki lima curiga bahwa relokasi tersebut semata-mata hanya untuk keuntungan dan kepentingan Pemerintah Kota atas proyek tamanisasi, sehingga pedagang kaki lima melakukan penolakan terhadap kebijakan relokasi.
SARAN
Dalam perencanaan tata kota, relokasi PKL seharusnya melibatkan PKL mulai dari tahap penentuan lokasi hingga kapan harus menempati. Rekomendasi kebijakannya adalah penciptaan forum stakeholder pembangunan perkotaan untuk meningkatkan partisipasi dan akses ke proses pengambilan keputusan. Pemerintah mestinya serius untuk mendengarkan aspirasi para PKL melalui paguyuban-paguyuban PKL di lokasi masing-masing sehingga program-program penataan yang diluncurkan tidak menjadi sia-sia belaka.
Dalam keadaan Seperti ini sebaiknya Pemerintah melakukan pembinaan mental, yaitu bagaimana mengelola PKL itu sendiri. Kalau kita bicara tentang PKL itu bukan hanya mengelola tempat tetapi juga mengelola orang. Salah satu keengganan orang untuk berbelanja di pasar adalah kesadaran lingkungan yang rendah dan ketidakjujuran. Kesadaran lingkungan yang rendah terhadap sampah dan aroma yang menyengat hidung juga menyebabkan kalah populernya PKL dibanding pusat perbelanjaan modern. Dan ketidakjujuran sangat mengganggu proses jual beli di PKL. Untuk mencegah dan mengurangi hal tersebut salah satu cara dengan social value system atau nilai-nilai yang mengikat di masyarakat. Upaya pembinaan mental terhadap PKL perlu dilakukan agar PKL menjadi lebih jujur dan sadar lingkungan.
Pemerintah Kota tidak bisa sendirian dalam penuntasan permasalahan PKL ini, perlu bekerja sama dengan berbagai elemen masyarakat kota bahkan stakeholder dari kota-kota yang lain terkait arus urbanisasi namun tetap saja kunci pertama adalah keseriusan dan konsistensi yang harus ditunjukkan oleh Pemerintah Kota dalam mengawali program-program terkait PKL ini. Beberapa hal yang mungkin bisa menjadi pertimbangan Pemerintah kota dalam menangani PKL ini adalah :

1.   Pemerinyah Kota juga harus berani mengawal regulasi terkait penyediaan 10 % area bagi tiap-tiap tempat pembelanjaan seperti Mall atau supermarket yang dikhususkan untuk PKL. Tentunya Pemerintah kota harus memfasilitasi sehingga antara pihak PKL dan Pengusaha bisa sama-sama tidak dirugikan.
2.   Penertiban terhadap PKL liar mestinya harus dilakukan dengan pendekatan dialog yang bernuansa pembinaan dan bukan pendekatan represif yang justru memicu perlawanan dan tidak boleh terkesan tebang pilih karena bisa memicu kecurigaan masyarakat tentang adanya tekanan politis dari kekuatan tertentu yang mengarahkan penertiban hanya pada komunitas tertentu. Penggusuran yang tidak disertai keberlanjutan program yang pasti bisa berdampak pada peningkatan jumlah pengangguran dan kemiskinan. Pengangguran yang jika tidak terkendali dengan baik justru memicu tindakan kriminalitas baru.
3.   Pemerintah Kota juga bisa memberikan izin kepada para PKL berjualan di sektor formal kota saat sektor formal tersebut sedang tidak beroperasi.
4.   Pemerintah Kota juga harus punya langkah preventif berupa pencegahan arus urbanisasi agar tidak kelewat batas atau melebihi kemampuan daya tampung kota. Kerja sama dengan daerah hinterland (pedalaman) mutlak dilakukan.

Konsistensi langkah Pemerintah kota dalam mengawal poin-poin diatas semoga bisa menempatkan PKL menjadi bagian terintegral dari masyarakat yang lain dan menjadi bagian penting dalam sistem ekonomi perkotaan dan bukan sebagai korban pembangunan kota metropolitan.

3 komentar:

  1. setuju bwt pemerintah yang memperhatikan nasib para PKL....

    BalasHapus
  2. Terimakasih atas tanggapannya.
    Benar sekali, karena keberadaan PKL tidak dapat dihindari disetiap kota. Hanya saja perlu adanya cara pengelolaan yang baik agar masalah-masalah yang ditimbulkan PKL dapat teratasi.

    BalasHapus